Cilegon,- Matamedia.co.id,- Puluhan siswa SMK YP 17 Cilegon tidak diizinkan untuk mengikuti ujian ulangan umum baru-baru ini, diduga karena adanya tunggakan pembayaran. Kejadian ini menimbulkan kontroversi, terutama karena beberapa orang tua siswa yang bersangkutan sudah berusaha melunasi tunggakan tersebut dengan membayar secara mencicil. Namun, meskipun sudah ada upaya pembayaran, pihak sekolah tetap melarang mereka untuk mengikuti ujian tersebut.
Salah satu orang tua siswa yang enggan disebutkan namanya menceritakan di mana ada yang telah mentransfer sejumlah uang sebagai bagian dari cicilan SPP anaknya. Meskipun sudah ada pembayaran sebagian, pihak sekolah tetap tidak memberikan izin untuk mengikuti ujian. “Bahkan tadi ada salah satu orang tua siswa yang sudah mentransfer sebesar 2 juta. Namun tetap tidak diberikan izin mengikuti ujian,” ungkapnya.
Tindakan sekolah ini menimbulkan pertanyaan besar terkait dengan kebijakan dan peraturan yang ada dalam dunia pendidikan. Banyak pihak yang berpendapat bahwa sekolah seharusnya tidak boleh mengaitkan pembayaran SPP dengan hak siswa untuk mengikuti ujian. Menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), pungutan pendidikan, seperti SPP, tidak boleh dijadikan syarat untuk kelulusan atau hak mengikuti ujian bagi peserta didik.
Saat dikonfirmasi, Humas SMK YP 17 Cilegon, Andri, menjelaskan bahwa siswa yang tidak diizinkan mengikuti ujian adalah mereka yang belum melunasi pembayaran sekolah. Ia menegaskan bahwa para orang tua telah mendapatkan pemberitahuan sebelumnya melalui surat resmi dan rapat komite sekolah agar segera menyelesaikan kewajiban pembayaran untuk dapat mengikuti ujian.
Lebih lanjut, Andri mengungkapkan bahwa sekolah juga mengalami kesulitan dalam menutupi biaya operasional akibat banyaknya tunggakan dari siswa kelas X, XI, dan XII. “Kami mengalami kendala dalam menutupi biaya operasional sekolah karena banyaknya siswa yang menunggak pembayaran. Hal ini berdampak pada keberlanjutan proses belajar-mengajar di sekolah,” jelasnya.
Senada dengan Andri, Wakil Kepala Bidang Kurikulum, Nazar Karami, menegaskan bahwa kebijakan ini sudah diterapkan secara konsisten sejak lama. Ia menjelaskan bahwa setiap kali ada ujian, seperti PTS atau PAS, siswa wajib memenuhi administrasi keuangan sekolah. Menurutnya, kebijakan ini dibuat untuk mencegah akumulasi tunggakan yang terus bertambah hingga siswa lulus.
“Tahun lalu saja, tunggakan dari lulusan masih mencapai Rp500 juta. Padahal, mereka sudah lulus dan ijazahnya masih tertahan. Kami ingin memastikan bahwa siswa yang lulus dapat membawa ijazah mereka tanpa kendala,” jelas Nazar.
Ia menambahkan bahwa pihak sekolah sebenarnya telah memberikan banyak keringanan kepada siswa sejak kelas X hingga kelas XII. Namun, bagi siswa dengan tunggakan yang terlalu besar, pihak sekolah merasa perlu mengambil langkah tegas untuk menghindari akumulasi utang yang semakin besar.
Keputusan sekolah ini memunculkan perdebatan di kalangan masyarakat. Sebagian pihak mendukung langkah sekolah sebagai bentuk ketegasan dalam menegakkan disiplin administrasi. Namun, tidak sedikit pula yang menganggap bahwa kebijakan ini merugikan siswa dan bertentangan dengan prinsip pendidikan yang seharusnya menjamin hak belajar setiap anak.