Cilegon,- Matamedia.co.id,- Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Cilegon Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah menanggapi secara kritis hasil Gebyar Apresiasi Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten/Kota dan Perangkat Daerah di lingkungan Provinsi Banten Tahun Anggaran 2025, yang menempatkan Pemerintah Kota Cilegon di posisi terakhir (peringkat ke-8) dari seluruh kabupaten/kota di Provinsi Banten.
Dengan skor 70,0 dan predikat “Baik”, Pemkot Cilegon berada paling bawah, tertinggal jauh dari daerah lain, bahkan selisih lebih dari 22 poin dari peringkat pertama yang diraih Kabupaten Tangerang dengan skor 92,50 dan predikat “Sangat Baik”.
“Jangan menormalisasi kegagalan dengan istilah ‘Baik’. Fakta bahwa Cilegon berada di posisi paling bawah adalah bukti nyata lemahnya tata kelola keuangan dan aset daerah,” tegas Alfa Fahrizi, Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah HMI Cabang Cilegon.
HMI menilai, posisi terakhir ini sangat ironis mengingat Cilegon dikenal sebagai kota industri strategis dan maritim jalur perdagangan nasional-internasional dengan potensi fiskal besar. Namun potensi tersebut tidak tercermin dalam kualitas pengelolaan keuangan dan aset daerah. Ketertinggalan dari kabupaten/kota lain menunjukkan adanya masalah struktural, lemahnya inovasi fiskal, serta rendahnya keseriusan dalam mengelola uang dan aset publik.
HMI juga mengkritisi narasi pemerintah provinsi yang menyatakan bahwa predikat “Baik” tidak menunjukkan buruknya pengelolaan. Menurut HMI, logika tersebut menyesatkan dan berpotensi membius publik, karena pemeringkatan bersifat komparatif.
“Jika semua dianggap baik, lalu mengapa Cilegon selalu berada di bawah? Dalam kompetisi, peringkat terakhir tetaplah kegagalan, bukan prestasi,” lanjut Alfa.
Lebih jauh, HMI menilai indikator seperti digitalisasi, opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), serta tindak lanjut temuan BPK belum cukup menjadi legitimasi keberhasilan, ketika hasil akhirnya tetap menempatkan Cilegon sebagai daerah dengan performa terendah.
“Kami melihat ada kecenderungan pemerintah lebih sibuk mengejar kepatuhan administratif daripada memastikan pengelolaan keuangan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat,” ujar Alfa.
HMI Cabang Cilegon menegaskan bahwa kondisi ini tidak boleh dianggap sebagai hal wajar atau sekadar hasil pembinaan. Posisi buncit justru harus dibaca sebagai peringatan serius atas kegagalan kepemimpinan dan lemahnya pengawasan internal pemerintah daerah.
Oleh karena itu, HMI menuntut:
1. Evaluasi menyeluruh dan transparan terhadap pengelolaan keuangan dan aset daerah.
2. Rencana perbaikan yang konkret, terukur, dan dapat diawasi publik, bukan sekadar narasi normatif.
3. Keterlibatan mahasiswa dan masyarakat sipil dalam pengawasan kebijakan fiskal daerah.
“Peringkat terakhir ini bukan sekadar angka, tetapi cerminan kegagalan tata kelola. Jika pemerintah terus berdalih dan menormalisasi kondisi ini, maka HMI akan terus menyuarakan kritik di ruang publik,” tutup Alfa Fahrizi.








