Praktik Pinjam Bendera dalam Pengadaan Barang dan Jasa: Antara Kesepakatan dan Pelanggaran Hukum

  • Whatsapp

Cilegon,- Matamedia.co.id,- Praktik pinjam bendera perusahaan dalam proyek tender pengadaan barang dan jasa (PBJ) di kota Cilegon menjadi sorotan tajam di masyarakat. Meskipun sebelumnya dianggap sebagai praktik lumrah, pandangan ini berubah ketika Aktivis senior Kimung menyatakan bahwa sekarang tindakan tersebut dianggap melawan hukum dan dapat berujung pada tindakan pidana.

“Penggunaan nama perusahaan lain untuk ikut dalam pengadaan barang dan jasa pemerintahan bukanlah fenomena baru. Praktik ini bahkan masih berlanjut hingga saat ini. Terlepas dari kontroversi di sekitarnya, tidak ada peraturan eksplisit yang melarang pinjam bendera perusahaan dalam mengikuti tender,” ungkap kimung

Read More

Namun, di tengah ketidakjelasan regulasi, oknum-oknum penyedia barang/jasa atau kontraktor menemukan celah hukum dengan membuat perjanjian pinjam bendera yang dinotariilkan oleh Notaris.

“Praktik ini melibatkan direktur perusahaan yang meminjamkan benderanya kepada perusahaan peminjam bendera dengan status kuasa direktur. Dampaknya mencakup penandatanganan kontrak dengan pihak pemerintah atas nama perusahaan peminjam bendera, termasuk aspek keuangan proyek,” tambahnya.

Di balik perjanjian formal, terdapat kesepakatan “terselubung” berupa “beneficial ownership” antara perusahaan yang meminjamkan bendera dan perusahaan peminjam bendera.

“Strategi ini dapat menjadi bentuk penyelundupan hukum yang menimbulkan risiko bagi kontraktor ketika proyek berakhir dengan kegagalan atau pemutusan kontrak,” ujarnya.

Praktik ini muncul karena beberapa alasan. Beberapa perusahaan tertentu mungkin sudah terlalu sering memenangkan tender, sehingga untuk mengelabui lelang, mereka menggunakan nama perusahaan lain.

“Terkadang, peserta tender yang tidak memenuhi syarat jumlah juga memanfaatkan nama perusahaan lain hanya untuk memenuhi persyaratan. Ada juga insentif dari pihak internal pemerintah, seperti Pokja, PPK, atau kepala daerah, yang memberikan jaminan proyek kepada perusahaan yang meminjamkan benderanya, dengan imbalan berupa gratifikasi atau fee,” tegasnya.

Meskipun demikian, praktik pinjam bendera tidak sepenuhnya bebas dari potensi pelanggaran hukum. Ini melanggar prinsip dan etika pengadaan barang dan jasa (PBJ), termasuk larangan membuat pernyataan tidak benar atau memberikan keterangan palsu. Selain itu, ini bertentangan dengan larangan mengalihkan pekerjaan kepada pihak lain dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

Dari perspektif hukum perdata, perjanjian pinjam bendera mungkin sah, namun, prinsip-prinsip etika dan norma hukum dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah tetap dilanggar.

“Perusahaan yang meminjamkan bendera dapat terkena konsekuensi perpajakan terkait keuntungan yang dicatat sebagai milik perusahaan peminjam bendera,” ujarnya.

Risiko terkait perusahaan yang meminjamkan benderanya mencakup tanggung jawab hukum, terutama terkait perpajakan atau tindakan hukum lainnya. Walaupun perusahaan peminjam bendera dan yang meminjamkan dapat memiliki perjanjian tersendiri, perusahaan yang meminjamkan benderanya tetap bertanggung jawab di mata hukum, termasuk kemungkinan masuk daftar hitam (blacklist).

“Praktik kotor ini diawali dengan kesepakatan di antara kontraktor dan pejabat untuk “merampok uang negara,” menyebabkan kerugian negara saat proyek tersebut berlangsung. Meskipun ada keuntungan finansial yang dapat diraih, pinjam bendera tetap membawa risiko serius, mengingat ketidakjelasan hukum dan potensi pelanggaran prinsip etika dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah,” pungkasnya.

Related posts

Leave a Reply