Ancaman Polusi dari PLTU Suralaya: Dampak Kesehatan dan Lingkungan yang Tidak Tersentuh Kebijakan

  • Whatsapp

Banten,- matamedia.co.id -,Di balik deru mesin turbin yang menjadi pemandangan rutin di Kelurahan Suralaya, Kota Cilegon, tersimpan keresahan yang mendalam dari masyarakat setempat. Keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, yang merupakan salah satu pembangkit listrik berbahan bakar batu bara terbesar di Asia Tenggara, tak hanya menghadirkan manfaat dalam bentuk pasokan energi untuk wilayah Jawa-Bali, tetapi juga ancaman besar berupa polusi udara yang mengancam kesehatan dan kelestarian lingkungan.

 

Sejak beroperasinya unit pertama hingga kedelapan PLTU Suralaya, dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat sudah terasa jelas. Polusi udara yang dihasilkan dari pembakaran batu bara bahkan mencapai daerah yang jauh, seperti Jakarta. Kini, dengan adanya tambahan unit 9 dan 10 yang memiliki kapasitas masing-masing 1.000 MW, kekhawatiran masyarakat semakin meningkat. Proses uji coba mesin untuk unit baru ini saja sudah menyebabkan keluhan dari warga di sekitar lokasi, terutama yang tinggal di Kampung Kopi yang terletak sekitar 1 kilometer dari cerobong asap. Keluhan warga terutama berkisar pada kebisingan yang ditimbulkan, serta rasa khawatir jika peningkatan aktivitas PLTU akan semakin memperburuk kualitas udara yang sudah tercemar.

 

Berdasarkan laporan dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), emisi yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya diklaim menyebabkan 1.470 kematian setiap tahunnya, dengan kerugian ekonomi yang mencapai Rp14,2 triliun akibat dampak kesehatan yang ditimbulkan. Angka ini menjadi bukti nyata akan ancaman yang dihadapi oleh lebih dari 13 juta penduduk di wilayah utara Banten, yang meliputi juga masyarakat sekitar PLTU tersebut.

 

Meski pemerintah Indonesia telah meratifikasi sejumlah perjanjian internasional terkait perlindungan lingkungan dan mengeluarkan berbagai regulasi seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa implementasi regulasi tersebut masih sangat lemah. Konsep hak atas lingkungan hidup yang sehat, yang diatur dalam Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB), masih jauh dari tercapai, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU Suralaya.

 

“Setiap pagi, kami harus membersihkan debu hitam yang menempel di dinding dan jendela rumah. Anak-anak sering batuk dan sesak napas, tapi kami bingung harus melapor ke siapa,” ungkap salah seorang warga yang tinggal tidak jauh dari PLTU. Kondisi ini semakin menambah penderitaan masyarakat yang sudah harus berhadapan dengan dampak kesehatan akibat polusi udara yang ditimbulkan oleh PLTU.

 

Selain masalah kesehatan, polusi udara yang ditimbulkan juga berimbas pada beban ekonomi masyarakat. Biaya pengobatan yang terus meningkat, produktivitas yang terganggu, serta kerugian ekonomi lainnya semakin memperburuk kualitas hidup masyarakat setempat.

 

Di tengah upaya Indonesia untuk menciptakan ekonomi hijau dan mengurangi emisi karbon sesuai dengan komitmen dalam Perjanjian Paris, keberadaan PLTU Suralaya yang masih bergantung pada batu bara jelas bertentangan dengan tujuan tersebut. Walaupun teknologi yang diterapkan pada unit baru diharapkan dapat mengurangi dampak polusi, namun pada kenyataannya, pembakaran batu bara tetap menjadi ancaman yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

 

Operasional dari unit baru PLTU Suralaya seharusnya menjadi titik balik untuk merefleksikan kebijakan pemerintah dan industri energi. Dengan tekanan internasional yang semakin besar dan tuntutan dari masyarakat lokal yang semakin keras, sudah saatnya transisi menuju penggunaan energi bersih menjadi prioritas utama. Pemerintah dan pihak-pihak terkait harus mendengarkan keluhan masyarakat dan segera mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi kesehatan publik serta menjaga kelestarian lingkungan.

 

Sayangnya, hingga saat ini, respons dari pihak PLTU Suralaya terhadap keluhan masyarakat terkesan kurang memadai. Ketika dihubungi oleh media, pihak Humas PLTU Suralaya Unit 9-10, Indra, tidak memberikan tanggapan apapun melalui pesan WhatsApp.

 

Pertanyaan besar yang kini muncul adalah kapan suara masyarakat yang terus menderita ini akan benar-benar didengar? Sudah saatnya kebijakan yang berpihak pada kesehatan dan keberlanjutan lingkungan dijadikan prioritas utama.

Related posts