Banten,- Matamedia.co.id,- Di kejauhan, deretan cerobong raksasa itu berdiri gagah, menghembuskan asap kelabu ke langit Banten. PLTU Suralaya Unit 9 dan 10, dengan kapasitas mencapai 2.000 MW, menjadi tambahan baru bagi kompleks pembangkit listrik tenaga uap terbesar di Indonesia.
Namun, di balik keperkasaannya, ada cerita kelam tentang udara yang tercemar, nyawa yang melayang, dan lingkungan yang direnggut.
April 2025 mendatang, PLTU Jawa 9 dan 10 direncanakan beroperasi penuh. Namun, sebelum mesin-mesin itu bekerja penuh, suara-suara protes sudah menggema.
“Ini bukan pembangunan, ini penghancuran,” ujar seorang aktivis lingkungan lokal yang meminta namanya dirahasiakan.
Ia merujuk pada laporan organisasi sipil seperti CREA dan Trend Asia yang menilai proyek ini sebagai ancaman besar bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan, terutama warga Cilegon yang paling dekat dengan keberadaan PLTU Suralaya.
Laporan dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) tahun 2023 memberikan gambaran suram tentang masa depan Kompleks PLTU Suralaya. Jika Unit 9 dan 10 beroperasi, diperkirakan 1.470 nyawa melayang setiap tahun akibat dampak polusi udara.
Ia mencatat, dalam satu dekade, ribuan orang akan mengalami kematian dini. Polusi ini tidak hanya menghantui warga Cilegon, tetapi juga Jakarta dan sekitarnya.
“Saya pernah terbang di atas Cilegon. Berat sekali emisinya,” kesaksian Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, pada sebuah wawancara tahun lalu (suara.com).
Luhut yang pernah berencana suntik mati PLTU Suralaya mencatat, polusi udara dari sektor industri dan pembangkit listrik di wilayah itu memaksa pemerintah menghabiskan Rp38 triliun untuk biaya kesehatan masyarakat.
Pernyataan itu menjadi alarm, namun di saat bersamaan, pemerintah justru melanjutkan proyek PLTU baru yang berpotensi memperburuk situasi.
Rencana pensiun dini PLTU di Indonesia mencuat sebagai salah satu upaya menekan polusi udara. Namun, implementasinya penuh kontradiksi.
Di satu sisi, Luhut Binsar Pandjaitan dengan lantang menyatakan niat pemerintah untuk menyuntik mati PLTU demi memperbaiki kualitas udara. Di sisi lain, PLTU Suralaya Unit 9 dan 10, yang menelan investasi triliunan rupiah, justru siap dioperasikan.
Proyek ini dikendalikan oleh PT Indo Raya Tenaga, perusahaan patungan antara PT Indonesia Power dan Barito Pacific Group. Dengan kepemilikan mayoritas di tangan perusahaan negara, PLTU ini menjadi bukti bagaimana komitmen terhadap energi hijau seringkali terpinggirkan oleh kepentingan ekonomi.
Menurut CREA, operasi PLTU Jawa 9 dan 10 akan melepaskan 250 juta metrik ton karbon dioksida ke atmosfer. Angka itu seolah menghapus komitmen Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060. Selain itu, biaya kesehatan akibat dampak polusi diperkirakan mencapai Rp14,2 triliun per tahun.
Menurut laporan “Debu Racun di Tanah Jawara” yang diterbitkan oleh Trend Asia dan Walhi, proyek PLTU Jawa 9 dan 10 merupakan contoh nyata dari investasi yang tidak relevan.
Mereka menyebutnya sebagai “proyek yang dipaksakan” karena berbahaya bagi kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat, khususnya di Banten.
Laporan itu menyoroti penggusuran warga, rusaknya mata pencaharian nelayan akibat pencemaran laut, hingga krisis kesehatan yang mengancam masyarakat sekitar.
Cilegon, yang dikenal sebagai Kota industri menyimpan paradoks. Di satu sisi, kota ini menjadi pusat industri strategis. Namun di sisi lain, lingkungannya terjebak dalam lingkaran polusi yang menghancurkan kualitas hidup masyarakatnya.
PLTU Suralaya Unit 9 dan 10 bukan hanya menjadi ancaman bagi warga sekitar, tetapi juga ekosistem yang lebih luas. Dari hulu hingga hilir, proyek ini menciptakan jejak kehancuran.
Di hulu, penambangan batubara menyebabkan deforestasi dan merusak habitat satwa liar. Di hilir, limbah industri mencemari perairan dan mengancam kehidupan biota laut.
Dalam laporan Trend Asia, disebutkan bahwa proyek ini hanya akan mempercepat kerusakan lingkungan yang sudah parah.
Secara lingkungan, jika proyek PLTU Suralaya Unit 9-10 yang tetap dipaksakan, maka jelas bahwa kualitas lingkungan — baik itu di hilirnya termasuk ekosistem perairan laut maupun di hulunya di daerah pertambangan dari mana batubara dipasok— akan semakin menurun dan mengalami kerusakan.
Di tengah krisis iklim global, Indonesia seharusnya mengambil langkah berani untuk beralih ke energi terbarukan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan arah yang bertolak belakang. PLTU Suralaya Unit 9 dan 10 menjadi bukti bagaimana investasi di sektor energi fosil masih dominan, meski dampaknya sudah jelas merusak.
Para pengamat energi menyebut ini sebagai “paradoks transisi energi”. Di satu sisi, pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon. Namun di sisi lain, kebijakan mereka masih mendukung proyek-proyek berbasis batubara.
PLTU Suralaya Unit 9 dan 10 adalah cerminan dilema besar dalam kebijakan energi Indonesia. Proyek ini, yang dibangun atas nama pembangunan, justru menjadi ancaman bagi kehidupan. Dalam situasi seperti ini, perlu ada langkah tegas dari pemerintah untuk menempatkan kesehatan dan lingkungan sebagai prioritas utama.
Karena jika tidak, cerobong raksasa itu akan terus menghembuskan ancaman, menghancurkan bukan hanya langit Banten, tetapi juga masa depan generasi mendatang.
Sumber Pustaka:
1. Laporan Trend Asia dan Walhi: Debu Racun di Tanah Jawara (2020)
2. Laporan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA): Dampak kualitas udara kompleks PLTU Suralaya – Banten (2023)